Kamis, 22 Mei 2014

Menggalau...


Kali ini saya ingin bercurcol ria sebagai ibu yang bekerja di luar rumah dan harus meninggalkan buah hatinya di rumah.. hehe

Mungkin setiap ibu yang bekerja juga merasakan hal yang sama, rasanya berat meninggalkan buah hatinya di rumah. Apalagi bila sang buah hati sedang sakit, ingin rasanya selalu berada disampingnya tanpa melewatkannya sedetikpun. Apalagi ketika dia sehat, bagaimana dia belajar berjalan, bagaimana dia belajar berbicara, bagaimana masa-masa melewati tumbuh gigi, bagaimana dia melewati setiap waktunya.

Di satu sisi lain si Ibu pasti akan galau juga kalau tiba2 harus keluar dari pekerjaannya, saya memahaminya. sebenarnya apa yang ibu galaukan juga karena memikirkan si anak, "apabila saya tidak bekerja nanti apakah saya bisa memenuhi kebutuhannya, sekolahnya, memberikannya kehidupan yang nyaman,bla..bla..bla.." dan banyak lagi hal lain yang dipikirkan si Ibu, terlepas bahwa segala rejeki itu Allah yang mengatur.

Saat ini banyak Ibu yang bisa bekerja di rumah tanpa harus meninggalkan anaknya, ya bersyukurlah, karena tidak semua orang memiliki kesempatan seperti itu, dan saya salah satu dari sekian banyak yang belum memiliki kesempatan seperti itu. Dahulu ketika saya masih sekolah dan kuliah, rasanya keren menjadi seorang wanita yang bekerja di kantoran, tetapi ternyata semua itu berbeda ketika kita merasa bahwa ada yang lebih membutuhkan kita dirumah. saya rasa kursi, meja, komputer hingga pekerjaan dikantor saya akan dengan mudah menemukan seseorang yang mungkin jauh lebih kompeten dari saya, tapi anak saya dirumah.. saya yakin saat ini yang paling dia inginkan adalah bersama ibunya, sekalipun yang mengasuhnya lebih kompeten. 

Sebuah artikel yang dahulu saya anggap keren, menceritakan tetang seorang wanita yang galau ketika ditawari S2, kemudian oleh si dosen ditanya, kapan pertama kali diajar oleh seorang S2, dan si wanita menjawab ketika dia kuliah, maka dosen mengatakan, alangkah beruntungnya anaknya kelak bila yang mengajarinya pertama kali adalah seorang S2. cerita ini sangat inspiratif sekali, saya juga menyukainya, tp sekarang saya menyadari bahwa semua hal tergantung dengan kondisinya, apabila saya ditawari S2 (*haha siapa juga yang mau nawari) itu artinya bahwa setelah S2 maka saya menambah wajib kerja saya dikantor, dan itu artinya S2 nya digunakan sebagian besar untuk kantor dan bukan untuk anak saya. Intinya setinggi-tingginya pendidikan wanita karir, yang mengasuh anaknya tetap saja seseorang ART yang pendidikannya sebagian besar lebih rendah dari si wanita karir itu. Dan bila kita renungkan lebih dalam, siapa yang seharusnya paling menyayangi dan memahami si anak pastilah ibu yang telah melahirkannya. Memang terdapat beberapa kasus penganiayaan yang dilakukan oleh ibu kepada anaknya, tapi saya rasa itu hal yang tidak wajar, karena sekelas hewan yang diberikan kepintaran lebih rendah dari manusia tau akan menyayangi anaknya apalagi kita yang diberikan kecerdasan oleh Allah.

Saat ini di kantor2 semakin gencar dengan yang namanya pengarusutamaan gender, dimana disatu sisi disitu terlihat bahwa wanita bisa mengerjakan apa yang dikerjakan oleh pria, tapi disisi lain ada yang menilai bahwa itu salah satu bentuk persuasif yang membuat kita melupakan bahwa wanita memiliki fungsi yang memang berbeda dengan pria. dan bagi saya sendiri pengarusutamaan gender adalah media yang cukup membantu bagi ibu-ibu yang memang masih dibutuhkan oleh keluarganya untuk mencari nafkah. Jadi mari berpositif thinking saja :)

Saya sendiri sedang belajar untuk menjadi seseorang yang senantiasa bersabar dan bersyukur. Bersabar ketika setiap berangkat kerja rasanya hati ini tertinggal di rumah. Pulang malam hari ketika anak saya sudah terlelap tidur. Namun saya juga harus banyak bersyukur, bersyukur karena ketika saya bekerja, ada rejeki milik orang lain yang dititipkan Allah kepada saya, rejekinya mba yang ngasuh anak saya, rejekinya milik orang lain yang dititipkan melalui zakat atau infak yang ada di penghasilan saya. Intinya saya sedang berusaha untuk selalu mengambil sisi positif dengan selalu bersyukur setiap kondisi.

Di keluarga kecil kami, kami berniat suatu ketika nanti ketika standar hidup kami sudah terpenuhi dan ketika saya lebih dibutuhkan di rumah maka saya akan dirumah. Standar hidup pada masing-masing keluarga berbeda-beda, saya tidak ingin mengejar sesuatu yang membuat saya melenakan keluarga dan ibadah saya, tapi saya juga tidak ingin menjadi orang yang berpasrah tanpa usaha, Allah maha pengatur rizki tapi manusia juga harus berusaha. Semoga Allah senantiasa meluruskan niatan kami dimanapun kondisi kami berada, amin.





1 komentar: